Entri Populer

Rabu, 02 Februari 2011

Negeri Pantun


Negeri Pantun

Inilah negeriku
Negeri ini memang subur
Sayang kita kurang mujur
 Jelas hidup tak kan makmur
Selagi tuan para pemimpin tidak jujur
Kita memang bangsa yang besar
Sayang sekarang kurang pede dan sedikit minder

Bagaimana kita tidak minder
Jika negeri ini besar oleh para Koruptor
Kitapun pernah tersohor
Sebagai bangsa nan santun
Berakhlak tinggi dan berbudi luhur
Tapi sayang kini tinggal dalam gurindam dan pantun
Dijarah lapar karena serakah para penyamun

Gusti Allah… Gusti Allah….
Negeri macam apakah ini???
Berjuta anak putus sekolah meringsut kejalan berkeluh kesah
Sementara disana,,, disana
Suara tuan-tuan yang terhormat gaduh riuh rendah
Berebut kursi, komisi dan dua tiga kapling tanah
Gusti Allah…., Gusti Allah….,
Negeri macam apakah ini??


Wangsit dukun dicari tidak petani tidak pak menteri
Harta karunpun digali
Ya allah ya robbi
Negeri macam apakah ini??

Rindu Surauku


Rindu Surauku

Semilir angin senja di kaki cakra buana
Menerpa rumbai alang-alang melambai-lambai manja
Tiap anak-anak desaku mengeja Alif Ba Ta Tsa
Cerahi wajah kampungku lepaskan rasa rindu

Disana kelak
Di Surau kami
Disana nanti langkah akan kami mulai
Disana kelak 
Disurau kami
Erat merapat khusyu dalam satu shaf

Wahai putra –putri desaku
Mari bentangkan sajadahmu
Menanti desamu menanti
Rindu dzikir dan tadarusmu
Mari ramaikan lagi kampung tercinta ini
Dipagi dan senja hari
Kala santri ramai mengaji

Damailah desaku
Tentramlah kampungku
Kurindu pada ros mu ,,,
Kuingin Tilawahmu

Tentramlah kampungku!

Senin, 17 Januari 2011

Sajak sebatang Lisong

Sajak Sebatang Lisong

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
..........................

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian

bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
.................................

kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA
( itb bandung - 19 agustus 1978 )

MENANGIS (Sebuah Puisi)

MENANGIS
   Emha Ainun Nadjib (1987)


   Sehabis   sesiangan   bekerja   di    sawah-sawah  serta  disegala  macam
   yang   diperlukan   oleh  desa  rintisan   yang  mereka  dirikan jauh  di
   pedalaman,    Abah   Latif   mengajak    para   santri   untuk   sesering
   mungkin  bersholat  malam.

   Senantiasa    lama    waktu   yang   diperlukan,   karena   setiap   kali
   memasuki   kalimat   "   iyyaka    na'budu "  Abah Latif  biasanya lantas
   terhenti      ucapannya,      menangis     tersedu-sedu      bagai     tak
   berpenghabisan.

   Sesudah   melalui  perjuangan   batin yang   amat  berat untuk  melampaui
   kata   itu,   Abah   Latif   akan   berlama-lama   lagi   macet  lidahnya
   mengucapkan  "  wa  iyyaka  nasta''in" .

   Banyak   di   antara   jamaah  yang   turut  menangis,  bahkan  terkadang
   ada  satu  dua  yang  lantas  ambruk  ke lantai   atau  meraung-raung.

   "Hidup   manusia   harus   berpijak,    sebagaimana  setiap  pohon  harus
   berakar,"   berkata  Abah Latif  seusai  wirid   bersama,  "  Mengucapkan
   kata-kata    itu    dalam    Al-fatihah   pun   harus   ada   akar   d  an
   pijakannya   yang  nyata  dalam   kehidupan.    'Harus'   di  situ  titik
   beratnya    bukan   sebagai   aturan,    melainkan   memang   demikianlah
   hakikat   alam,   di   mana   manusia    tak   bisa  berada  dan  berlaku
   selain  di  dalam hakikat  itu."

   "Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  gemeremang mulut  para  santri.

   "  Jadi,  anak-anakku,"  beliau  melanjutkan,   "  apa  akar  dan pijakan
   kita  dalam  mengucapkan  kepada  Alloh    ..iyyaka  na'budu?"

   "Bukankah tak  ada  salahnya  mengucapkan  sesuatu   yang  toh  baik  dan
   merupakan   bimbingan  Alloh   itu    sendiri,  Abah?"  bertanya  seorang
   santri.

   "Kita    tidak   boleh   mengucapkan   kata,  Nak,   kita   hanya   boleh
   mengucapkan kehidupan."

   "Belum  jelas  benar  bagiku,  Abah?"

   "   Kita   dilarang  mengucapkan kekosongan,   kita  hanya  diperkenankan
   mengucapkan  kenyataan."

   "Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  geremang mulut  para  santri.

   Dan   Abah   Latif   meneruskan,    "   Sekarang ini  kita  mungkin sudah
   pantas   mengucapkan     iyyaka   na'budu.KepadaMu  aku  menyembah.Tetapi
   kaum   Muslimin   masih belum  memiliki  suatu   kondisi  keumatan  untuk
   layak  berkata  kepadaMu  kami  menyembah,   na'budu."

   "Al-Fatihah   haruslah   mencerminkan  proses    dan  tahapan  pencapaian
   sejarah  kita   sebagai   diri   pribadi    serta  kita  sebagai  ummatan
   wahidah.Ketika   sampai  di kalimat  na'budu,   tingkat  yang harus  kita
   telah   capai   lebih   dari  abdullah, yakni khalifatulloh.Suatu  maqom
   yang   dipersyarati   oleh   kebersamaan   kamu  muslim  dalam  menyembah
   Alloh   di  mana   penyembahan   itu    diterjemahkan   ke  dalam  setiap
   bidang  kehidupan.Mengucapkan   iyyaka   na'budu   dalam  sholat mustilah
   memiliki  akar  dan pijakan  di  mana  kita kaum   muslim  telah  membawa
   urusan  rumah  tangga,  urusan perniagaan,  urusan   sosial  dan  politik
   serta  segala  urusan  lain  untuk  menyembah   hanya  kepada  Alloh.Maka
   anak-anakku,  betapa  mungkin dalam  keadaan kita  dewasa ini lidah kita
   tidak   kelu   dan  airmata   tak   bercucuran  tatkala  harus mengucapan
   kata-kata itu?"

   "Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  gemeremang   para  santri.

   "Al-fatihah    hanya  pantas   diucapkan   apabila  kita   telah   saling
   menjadi   khalifatulloh   di dalam  berbagai   hubungan  kehidupan.Tangis
   kita  akan   sungguh-sungguh   tak   tak    berpenghabisan  karena dengan
   mengucapkan  wa   iyyaka  nasta'in, kita  telah   secara  terang-terangan
   menipu   Tuhan.Kita   berbohong  kepada-Nya   berpuluh-puluh  kali  dalam
   sehari.Kita  nyatakan  bahwa   kita  meminta   pertolongan  hanya  kepada
   Alloh,   padahal    dalam    sangat    banyak  hal  kita   lebih   banyak
   bergantung   kepada  kekuatan,  kekuasaan   dan   mekanisme   yang   pada
   hakikatnya melawan Alloh."

   Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  geremang mulut   para  santri.

   "Anak-anakku,  pergilah   masuk  ke dalam   dirimu  sendiri,  telusurilah
   perbuatan-perbuatanmu   sendiri,   masuklah ke   urusan-urusan manusia di
   sekitarmu,     pergilah     ke      pasar,     ke     kantor-kantor,    ke
   panggung-panggung  dunia   yang   luas:    tekunilah,   temukanlah  salah
   benarnya  ucapan-ucapanku  kepadamu.Kemudian  peliharalah   kepekaan  dan
   kesanggupan    untuk    tetap     bisa   menangis.Karena   alhamdulillah,
   seandainya    sampai   akhir  hidup    kita  hanya  diperkenankan   untuk
   menangis   karena   keadaan-keadaan  itu  :   airmata  saja  pun  sanggup
   mengantarkan  kita  kepada-Nya."

   ----------------------------------------------------

   Dari  :
   Seribu  Masjid  Satu Jumlahnya
   Tahajjud  cinta  seorang  hamba